Peramal itu memecahkan bola kacanya
Tepat hingga tengah malam ini, aku masih terduduk bisu. Memandang kosong apapun yang berada didepanku. Risa sudah sejak pagi tadi pergi, mungkin sebentar lagi ia kembali. Risa benar-benar tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih memilih bekerja, memotivasi diri untuk mengejar semua harapannya.
"Lisna?"
Ku dengar suara Risa memanggilku saat sebelumnya ku dengar suara pintu terbuka menampilkan sosoknya yang masih ceria.
"Mau sampai kapan kau disini?"
Aku tidak menggubris perkataannya. Masih sibuk menatap jendela yang menjadi sasaran mataku selanjutnya.
Risa menaruh barang bawaannya, menyalakan lampu rumah, pergi ke kamar, kemudian kembali duduk di sampingku. Sudah berganti pakaian rupanya, mengganti posisi ikat rambutnya, dan masih sama terlihat cerianya.
"Kau tau tidak? Saat perjalanan ku pulang, aku melewati pasar malam. Banyak cahaya gemerlap yang menghiasi kebahagiaan banyak insan. Ada sepasang suami istri dengan kedua anaknya, segerombolan remaja perempuan yang bercanda riang antaranya, dan tak kalah banyak pula pasangan muda mudi yang saling bergandengan tanda tak boleh ada yang merebut miliknya."
Kalimat terakhir Risa membuatku memutar kembali memori. Dulu kami juga pergi ke pasar malam.
"Di tiap pasangan muda-mudi itu, Lisna. Aku teringat kalian berdua. Saat kau berkata padanya agar meminta izin padaku untuk mengajakmu pergi keluar, ingin makan mie ayam di depan toko material katanya. Atau ketika wajah memohonnya meminta izin mengajakmu pergi untuk berjam-jam lamanya."
Tega sekali Risa. Seenaknya mengungkit masa laluku dengan Dia. Mengundang butiran bening itu turun dari mataku setelah berusaha keras agar aku tak mengingatnya.
"Aku tau kamu masih selalu begitu. Seolah-olah kamu tidak bisa melupakannya, padahal jelas-jelas itu sangat mudah untuk kau lakukan sejak lama."
"Kau pikir semudah itu Risa?"
Kalimat pertamaku yang meluncur mulus setelah mendengar perkataannya, menjadi pertanda jelas bahwa untuk kali ini, aku tidak setuju dengannya.
"Akhirnya. Ku pikir kamu sudah terlanjur bisu sejak minggu lalu." Ia tersenyum menang.
Aku menghembuskan nafas. Tidak mengerti apa lagi yang akan ia lakukan untuk kali ini.
"Aku bisa meramalmu Lisna. Aku seorang peramal pribadimu. Aku sudah pernah meramal bahwa kau akan berpisah dengannya, kemudian menjelma bagai orang yang kehilangan akalnya. Dan sekarang, aku benar kan?"
Aku mengalihkan pandanganku. Masih belum mengerti maksud Lisna mengatakan semua itu padaku.
"Aku kembali meramal. Bahwa kamu akan kembali menjadi Lisna yang ku kenal, dan itu terjadi dalam waktu 3 hari. Tapi di hari ke 4, kamu belum menunjukkan perubahan. Aku sangat benci pada diriku sendiri. Ditambah hari-hari berikutnya, kamu semakin seperti seseorang yang telah mati. Aku gagal lalu menghancurkan pendapatku. Aku menghancurkan bola ramalanku. Seharusnya aku tidak secepat itu mengeluarkan ramalan baru. Kau tau Lisna? Jantungku sesak ketika melihat kau seburuk ini. Aku juga tidak menyangka sama sekali bahwa sebesar ini pengaruh yang Ia beri."
Aku menengok melihatnya. Senyuman getir yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Sepenting itukah aku untuknya?
"Kamu sangat penting untukku, Lisna. Aku sangat membencinya yang membuatmu bisa sehancur ini. Ingin saja rasanya ku tenggelamkan ia seperti yang di lakukan Ibu Susi. Dan, Lisna. Tolong dengarkan kata-kata ku untuk saat ini."
Aku kembali menatapnya. Berusaha merefresh otakku agar aku dapat menerima semua yang akan ia ucapkan padaku.
"Kamu berharga, Lisna. Aku sangat memohon agar kau tidak membuang waktumu. Kamu dan Dia memang sudah sangat lama bersama. Mungkin waktu yang kau butuhkan untuk melupakannya juga bisa lebih lama dari itu. Sejak awal, aku sudah khawatir bahwa Dia akan merubahmu seperti serpihan kelopak mawar yang tlah layu. Dan ketika itu semua terjadi, aku sangat membenci, entah pada siapa. Tetapi Lisna, kalian tidak akan berpisah. Kalian masih tetap melanjutkan, meski berbeda tujuan. Kalian masih menatap, meski bukan lagi pada masa depan yang pernah kalian rencanakan. Kalian masih saling memiliki, meski itu tidak berarti untuk masa kini. Kalian masih saling memiliki dalam kenangan. Saling menyimpan semua yang nantinya kan usang."
Semua itu. Semua kenyataan yang Risa utarakan. Semuanya benar. Selanjutnya, Risa memelukku dengan erat. Aku merasa ia menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri. Mataku memejam, membiarkan butiran bening itu mengalir kembali.
"Kamu sudah seperti adikku sendiri, Lisna. Kamu tidak boleh terus menerus terpuruk. Aku akan merasa gagal menjadi seorang kakak, sekalipun kamu tidak menginginkannya. Biar Dia tinggal dalam lubang besar pada memorimu. Dan kau, harus melanjutkan hidupmu. Menjadi Lisna yang akan selalu menjadi sahabat ceriaku."
Aku melepas pelukannya, melihat Risa tersenyum sangat tulus.
"Maaf Risa, harusnya aku tidak sebodoh ini. Harusnya aku tidak sehancur ini sebab kehilangan orang yang belum pasti menjadi masa depanku."
"Apa yang kau lakukan benar. Hanya ketika kamu melakukannya berlarut-larut, itu yang salah. Dengar Lisna, beberapa orang datang bukan untuk singgah dan menetap. Terkadang mereka hanya untuk memberi pelajaran, kemudian pergi tanpa kembali menatap."
Terimakasih untuk yang kesekian kalinya, Risa. Aku berjanji untukmu bahwa aku akan kembali. Akan ku perbaiki bola kacamu. Agar nantinya kamu bisa mewanti-wanti ku. Perihal seseorang yang nanti menjadi pengaruh dalam perubahan besar pada diriku.
-10 September 2018
Location is not available.
Komentar
Posting Komentar